bqiqdHcLSyDe1e7rIy6MJVhY5drRA6OxKKstSzTb
Bookmark

Terjebak Macet di Gunung Gede

Terjebak Macet di Gunung Gede

Sebelum waktu menunjukkan jam delapan pagi, aku dan keempat kawanku sudah sampai di base camp pendakian Gunung Gede Pangrango via Gunung Putri. Rencananya pagi ini kami akan melakukan pendakian sebelum masuk bulan ramadhan. Biasanya dalam bahasa Sunda disebut "Papajar", atau jika dalam bahasa umumnya melakukan liburan sebelum masuk bulan puasa.

Pendakian kali ini adalah pendakian kedua untukku di Gunung Gede, setelah sebelumnya pernah mendaki Gunung Gede dua tahun lalu. Namun untuk kali ini, jalur pendakian yang akan aku lewati berbeda dengan sebelumnya. Di tahun 2019 lalu, aku mendaki lewat jalur Cibodas dan sekarang akan mencoba lewat jalur Gunung Putri. Jalur pendakian ini terbilang yang paling populer diabdingkan dengan jalur Cibodas.

Udara dingin yang jarang sekali aku rasakan ketika aku hidup di perkotaan, menyambut kedatangan kami. Hamparan lahan perkebunan sayuran hijau menjadi pemandangan di kiri kanan jalan. Salah satu temanku mengurus simaksi terlebih dahulu, lalu sisanya aku dan kawanku yang lain menunggu di atas, di warung. Pendakian kali ini terbilang sangat ramai sekali. Terlihat dari banyaknya pendaki yang mulai melakukan trekking dari sedari kami datang. Karena sedari berangkat dari rumah kami belum sempat untuk sarapan, akhirnya kami memutuskan untuk mengisi tenaga dulu di warung ini. 

Sinyal hape sudah mulai malu-malu untuk muncul di sini. Entah sudah berada di ketinggian berapa base camp gunung putri ini. Oh iya, selain menjual makanan dan juga minuman seperti es teh manis, kopi ataupun air mnieral, ternyata di sini juga terdapat home stay yang bisa disewa untuk pendaki yang akan melakukan pendakian melalui jalur putri. Harganya cukup terjangkau, hanya Rp. 15.000/orang untuk satu malam. 

Pendakian kali ini akan terasa sangat santai sekali, tidak akan terburu-buru untuk cepat sampai puncak. Mau bisa cepat bagaimana, baru jalan beberapa menit aja jalurnya udah macet. Kirain di Jakarta doang yang macet, ternyata di gunung juga bisa macet.

Dari keempat kawanku, Rege adalah salah satu kawan yang baru merasakan mendaki gunung. Ini adalah pendakian pertamanya. Rasa gugup dan sedikit rasa takut terlihat dari raut wajahnya. Meskipun begitu, ia akan mencoba sebisanya, semampunya.

"kalo capek atau mau istirahat dulu, bilang aja, Ge", ucap kawanku, Agung.

"Oke, siap!", Rege pun tegas menjawab.

Dengan alasan ini juga, ada satu kawan yang baru pertama kali mendaki, maka aku dan kawanku tidak akan terburu-buru untuk cepat sampai di atas. Kalo kata orang jawa sih, alon-alon asal kelakon. 

Dari Awal Sudah Macet

Waktu yang tidak pernah berhenti berputar, beberapa menit lagi jam 8 akan segera tiba. Sarapan pagi dan juga ngopi sudah cukup rasanya. Kini kami mulai melangkahkan kaki untuk melakukan trekking. Sebelum berangkat, kami bersama-sama menundukkan kepala sejenak dan berdoa terlebih dahulu agar diberikan kelancaran dan keselamatan.

Benar-benar pendakian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang awalnya aku hanya bisa menyaksikan keramaian Gunung Gede ini biasanya lewat media sosial, kini aku merasakan bukti nyatanya. Banyak juga orang-orang yang mendaki kali ini. Kukira puncak dari penuhnya pendakian Gede ini akan terjadi di minggu sebelumnya, saat libur panjang akhir pekan. Tapi tebakanku salah. Sebelum berangkat aku sempat mengecek kuota booking online untuk Gunung Gede ini lewat website resmi TNGP (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango), ternyata kuotanya sudah habis untuk 300 orang. Setiap hari pendakian, biasanya kuota yang tersedia hanya untuk 300 orang, dan dibagi menjadi 3 jalur Pendakian. Jalur Putri selalu menjadi favorit untuk para pendaki. 

Macet

Melihat situasi yang ramainya seperti ini, Agung memperkirakan kita akan butuh waktu sekitar 6 jam untuk sampai di Alun-alun Suryakencana yang akan menjadi tempat mendirikan tenda nantinya. Maju beberapa langkah udah antri lagi, maju beberapa langkah antri lagi. Ya sudahlah, nikmati kemacetan ini.

Di perjalanan, kami mengobrol seperti biasa dan seringkali kami sambil mengeluarkan banyak candaan agar perjalanan tidak terasa kaku seperti kanebo kering. Dalam situasi seperti ini, sulit untuk bisa berjalan berdampingan karena akan menghalangi pendaki lain yang ingin lewat dan juga yang turun. Jadi kami tetap berjalan seperti layaknya orang sedang antri. Paling bisa berdampingan untuk dua orang saja. Bukannya gak bisa, aku hanya tidak ingin mengganggu pendaki lain. Meskipun ini di alam bebas. tapi sebagai sesama pendaki kita harus saling memperhatikan juga.

Trek yang dilewati nanjak terus, membuat kami sering berhenti untuk sekedar menarik nafas terlebih dulu. Tapi ada untungnya juga sih pendakiannya ramai, jadi di jalur yang tanjakannya cukup panjang jadi tidak terasa. Tanjakannya jadi terlihat pendek karena dipenuhi dengan pendaki lain. Di jalur pendakian yang ramai seperti ini, apalagi saat sedang berada di trek yang menanjak, jika memutuskan untuk beristirahat, maka pilihlah tempat yang sekiranya tidak menghalangi jalan untuk pendaki lain yang lewat. Jika berhenti dimana saja dan juga menghalangi jalur, maka di jalur akan semakin menumpuk orang-orang karenan susah lewat. 

Trekking Pos 1 - 4

Setelah melewati kemacetan, dan juga tanjakan yang tak kunjung ada ujungnya, sekitar satu jam perjalanan kami akhirnya tiba di pos pertama. Kami memutuskan utnuk istirahat lagi di sini. Entah sudah berapa kali berhenti dari tadi sebelum sampai di sini. Di Pos 1 ini terlihat juga banyak pendaki lain yang sedang beristrahat. terlihat ada yang sedang asyik menghisap rokok sambil mengobrol dengan temannya, ada juga yang sambil membereskan packing di tas yang dibawa. Pos pertama ini memiliki banyak backsound dari berbagai pendaki dan juga dari box musik yang mereka bawa. Untuk membuat suasana mendaki lebih enak (mungkin), mereka sambil memutar musik. Dari sejak di bawah, terdengar beberapa lagu yang kukenal lewat di sampingku bersamaan dengan lewatnya pendaki tersebut.

"nasi uduk.. nasi uduk.. 10 ribuan aja"

Terdengar suara lain yang sangat jelas melewat telingaku. Ternyata suara tersebut keluar dari seorang bapak-bapak penjual nasi uduk. Dia menawarkan dagangannya kepada setiap pendaki yang baru sampai. Selain itu aku baru sadar bahwa di sini terdapat warung juga. Setelah aku lihat-lihat sih ternyata mereka menjual air mnieral, jajanan dan juga bisa membeli kopi di sini. Karena kami tadi sebelum naik sudah mengisi perut terlebih dahulu, jadi kami skip dulu untuk tawaran bapak penjual nasi uduk ini. Tenaga kami masih cukup kayaknya unutk sampai puncak. Kami hanya butuh minum saja, itupun kami bawa sendiri.

Rasanya dari pertama melangkahkan kaki sampai bisa berhenti di pos 1 ini perjalanan terasa jauh banget. Atau mungkin ini adalah kali pertamaku, ya. Masih asing dengan jalur yang aku lewati. Biasanya kan seperti itu, perjalanan pergi akan terasa sangat jauh karena kita belum mengenal jalurnya. Sebaliknya, perjalanan pulang akan terasa cepat karena sudah pernah melewati jalur yang sama sebelumnya.

Perjalanan pun kami lanjutkan kembali setelah kuhabiskan satu batang rokok. Jangan lama-lama berhenti, nanti jadinya malas untuk melanjutkan perjalanan. Soalnya masih jauh ini perjalanan untuk bisa sampai tujuan, baru pos 1, kawan!

rehat dulu

Jalur yang kulewati masih sama saja, dipenuhi dengan pendaki lain yang sama-sama ingin cepat sampai karena tenaga sudah mulai menipis. Kata Agung, akan ada 4 pos yang akan kami lewati untuk bisa sampai di Alun-alun Suryakencana. Dan kami baru melewati satu pos, masih tersisa 3 pos lagi.

Kami terus berjalan selama berjam-jam, sesekali berhenti untuk sekedar minum air. Setelah sekian jauh berjalan, kami tak kunjung menemukan pos 2. Mungkin kami hanya perlu berjalan sebentar lagi untuk sampai di pos 2. Rege pun nampaknya sudah mulai merasakan dampak liburan ke Gunung. Hal itu terlihat dari ekspresinya yang sudah mulai kelelahan. Setiap kali aku melihat ekspresi tersebut di wajah Rege, aku selalu menawarkan untuk kita istirahat dulu aja. Jangan dipaksakan.

Kadang juga kami membagi menjadi 2 kelompok, tiga orang berjalan di belakang bersama dengan Rege, dan sisanya berjalan duluan dan akan menunggu di depan. Meskipun berjalan secara terpisah seperti ini, yang berjalan lebih dulu selalu menunggu yang masih di belakang. Paling hanya berjarak sekitar beberapa menit saja bedanya. Saat merasa yang dibelakang sudah agak jauh tertinggal, aku dan Dimas akan mencari tempat untuk berhenti untuk menunggu yang di belakang. Lumayan aku bisa menunggu mereka sambil istirahat. 

Aku berhenti sambil menunggu Fahadi, Agung dan Rege di sebuah tempat yang banyak dipenuhi pendaki lain yang sedang beristirahat juga dan ternyata ini adalah pos 3. Pantas saja jarak dari pos 1 ke pos 2 rasanya jauh banget dan tak kunjung ketemu posnya. Nampaknya pos 2 sudah kami lewati tapi tidak kami sadari posisinya atau terlewat begitu saja. Tas Carrier yang sedari tadi menajdi beban di pundak, ku turunkan dan disandarkan di dekat pohon yang tumbang. Aku dan Dimas pun duduk sambil menunggu mereka yang belum terlihat dari kejauhan.

Kulihat di sekeliling banyak sekali pendaki yang istirahat di pos 3 ini. Setelah aku pikir-pikir kembali, sepertinya banyak orang yang mendaki kali ini bisa dibilang lebih dari 300 orang kayaknya. Soalnya asli banyak banget, belum lagi yang baru sampai di pos 3 dan juga yang kembali melanjutkan perjalanan. Meskipun aku gak menghitung satu persatu, tapi emang bener kayaknya lebih dari 300, jumlah maksimal untuk booking online via web TNGP. Di sini juga terlihat sebuah warung yang sama seperti di pos pertama. Kulihat dari jauh ada gorengan hangat yang otw jadi dingin dijual di warung tersebut. 

Suasana dingin di pos 3 ini membuatku mengantuk, rasanya ingin aku tidur sejenak di sini. Tak lama setelah itu, ketiga kawanku muncul dan menghampiriku. Sepertinya tidak hanya aku saja yang merasakan kantuk di sini, nampaknya Dimas dan Agung pun sama. Sepertinya kami akan lama beristirahat di sini. Agung mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, rupanya ia mengeluarkan kompor portable dan juga sebuah teko. Aku yang mengetahui bahwa Agung ingin ngopi pun langsung mengeluarkan kopi sachet yang aku bawa. Dilanjut Fahadi yang mengeluarkan makanan ringan dari dalam Tasnya. Alhasil kami semua menikmati kopi dan makanan ringan di sini.

Melewati jalur pendakian yang ramai seperti ini, membuatku susah untuk berhenti sejenak untuk mengambil foto. Berhenti sebentar saja di jalur, akan membuat jalur semakin macet. Jadinya kamera yang aku bawa sejauh ini hanya jadi beban saja. Tak apalah, nanti di atas pasti berguna.

Istirahat sudah cukup lama dan dua gelas kopi pun sudah habis, saatnya untuk melakukan perjlanan lagi. Sisa satu pos lagi dari sini untuk bisa sampai di Suyakencana. Kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan. Tak lupa sampah bekas makanan dan juga kopi dibawa, jangan membuang sampah sembarangan. Waktu yang kami butuhkan untuk sampai di pos 4 sekitar 1,5 jam. Masih lumayan jauh.

Semakin jauh perjalanan, cuaca semakin gelap dan udara pun teraasa semakin dingin. Sepertinya akan turun hujan sebentar lagi. Di suatu tempat, kami berhenti sejenak untuk sekedar memakai ponco atau jas hujan yang sebelumnya telah kami persiapkan. Bahaya juga kayaknya jika hujannya turun deras, jalur akan menjadi licin dan tidak menutup kemungkinan juga bahwa jalur yang dilewati saat ini nantinya bisa jadi akan menjadi saluran air saat hujan. Tentunya jika itu terjadi akan menyulitkan pendaki. 

Tak perlu menunggu lama setelah kami semua memakai jas hujan, akhirnya hujan pun turun. Untungnya hujan tidak terlalu deras, hanya hujan kecil biasa. Pemandangan di depan dan belakang sekarang berbeda, lebih berwarna. Berbagai macam warna jas hujan yang digunakan oleh pendaki membuat pendakian di jalur ini penuh dengan warna. Sayang sekali aku tidak bisa mengabadikan momen ini karena takut hp atau kamera terkena air dan nantinya rusak. Lanjut jalan saja.

Suryakencana, kami tiba

Singkat cerita, setelah berjalan kurang lebih sekitar 2 jam lebih, akhirnya kami sampai juga di pintu masuk Alun-alun Suryakencana. Aku dan Dimas lebih dulu sampai, dan tiga lainnya masih dibelakang. Senang sekali akhirnya bisa sampai juga di sini. 

Kabut tipis menyelimuti Padang Sabana Suryakencana. Orang-orang pun berjalan menembus kabut tersebut. Kuturunkan lagi tas carrier yang kubawa dan duduk di batu sambil menunggu kedatangan ketiga temanku. Sengaja aku tidak berjalan jauh dari pintu masuk, agar kawanku yang lain nantinya tidak kesulitan menemukanku. 

Alun-alun Suryakencana

Sambil menunggu kedatangan mereka bertiga, aku berinisiatif unutk mengeluarkan kamera dan mengabadikan foto pendaki lain yang hendak menembus kabut. Jauh-jauh dibawa dari Bekasi, jepretan pertama dimulai dari Suryakencana. Foto pertama ini dibuat dengan perjalanan yang susah payah. Sesekali aku meminta untuk difoto oleh Dimas, Begitu juga Dimas, bergantian. Kabut ini muncul karena hujan yang sebelumnya terjadi.

Kabut tipis ini tidak berlangsung lama, hanya beberapa menit saja sejak keberadaanku di sini. Tak lama setelah itu, matahari mulai muncul kembali, kabut pun perlahan pergi terkalahkan oleh sinar matahari. Bersamaan dengan itu juga ketiga kawanku akhirnya muncul juga di pintu masuk. Terlihat Fahadi yang menggunakan tas warna biru dengan rain cover warna oren berjalan kebingungan mencari keberadaanku. Dibelakangnya ada Agung dan Rege yang juga mulai melihat kiri kanan untuk mencari kami berdua. Dimas mengangkat tangan sambil memanggil salah satu nama temanku sebagai tanda keberadaan kami, mereka pun akhirnya melihat tanda tersebut dan menghampiri kami.

menembus kabut

Hamparan pohon edelweis tampak menghiasi sisi kanan dan kiri langkahku menuju ke bagian timur Alun-alun Suryakencana. Rencananya kami akan mendirikan tenda di sana. Diusakan mencari tempat yang ada pohonnya agar bisa memasang hammock untuk rebahan santai. Suryakencana dihiasi dengan berbagai warna terang dari tenda para pendaki. Mungkin hanya tenda pedagang saja yang warnanya kurang terang, karena menggunakan terpal dengan warna tua. Tenda-tenda yang berdiri di sini masih banyak, entah itu yang camp dari kemarin atau baru datang sama seperti kami.

Tak butuh waktu lama untuk bisa menemukan tempat yang cukup strategis untuk mendirikan tenda. Di sisi jalan sebelah kanan menuju jalur puncak, masih ada lahan kosong untuk kami mendirikan tenda. Selain itu, tempatnya juga dikelilingi oleh pohon yang bisa kami gunakan untuk mengencangkan tali hammock. Dari hamparan padang sabana Suryakencana, jaraknya tidak terlalu jauh juga. Karena sudah ingin cepat makan dan beristirahat, tenda pun dengan cepat didirikan.

Semua makanan yang dibawa di dalam tas, peralatan masak, air mineral dan juga beras segera dikumpulkan. Salah satu kawan langsung memasak nasi. Yang lainnya memebereskan tenda, menata barang bawaan agar tidak berantakan. Ada juga yang sibuk mengencangkan tali hammock agar bisa cepat digunakan. Rencananya kami akan menginap di sini satu malam saja, jadi besok siang kita harus sudah turun lagi. 

Gak ada kegiatan apapun yang aku dan kawanku lakukan setelah mengisi perut yang sedari tadi sudah tak kuat menahan lapar. Ada yang tiduran di tenda sembari mendengarkan musik dari ponsel. Aku lebih memilih untuk menyeduh kopi sambil menghisap rokok. Ditemani oleh Agung, aku mengobrol ke sana-sini. Sampai mengobrol tentang pendakian kita sebelumnya yang selalu mendaki bersama. 

Malam hari yang biasanya menjadi waktu yang paling seru saat menjelang tidur, kini terasa hening. Berbeda dengan pendakin-pendakian sebelumnya. Sebagian kawanku sudah tidur duluan. Mungkin mereka lelah dengan perjalanan tadi siang. Lagi-lagi aku hanya duduk di luar dengan beralaskan matras sembari memanaskan air untuk menyeduh kopi. 

ngopi

Tenda kapasitas 3 orang dipakai oleh 5 orang. Mentoknya bisa dipakai oleh 4 orang saja, itu juga sudah sempit banget. Gara-gara salah bawa tenda, harusnya membawa yang kapasitas 6 orang tapi malah ngambil yang 3 orang. Ini adalah salah satu kesalahan yang terjadi di pendakian kali ini. Karena jika dipaksakan 5 orang di dalam tenda tidak akan cukup, akhirnya Agung memilih untuk tidur di hammock saja di luar yang tadi siang sudah diikatkan ke dua pohon di samping tenda. 

Harga Rokok dan Puncak Diselimuti Kabut

Cuaca dingin saat berada di gunung, kadang membuat kami malas untuk cepat-cepat beranjak dari tempat tidur atau tenda. Biasanya, meskipun matahari belum menunjukkan cahayanya, aku sudah bergegas untuk menuju puncak, ingin bisa menyaksikan keindahan puncak saat matahari terbit. Kali ini, kami mengabaikannya karena rebahan lebih enak rasanya. 

Sekitar jam 6 pagi, aku dan beberapa kawanku akhirnya memutuskan untuk naik ke puncak. Rege sendiri yang hanya diam di tenda. Dia memutuskan untuk lanjut tidur dan mempersiapkan makan nantinya. Terlihat sedari masih gelap, orang-orang sudah banyak yang mulai treking menuju puncak untuk menyaksikan matahari terbit dari puncak Gunung Gede. Bedanya, kami berangkat lebih lambat, karena memang tidak berniat untuk menyaksikan sunrise dari puncak. 

Peralatan untuk menyeduh kopi, seperti mug, teko untuk memanaskan air dan juga kompor portable tidak lupa untuk kami bawa ke atas. Sebelum berangkat, tidak lupa juga aku mengecek persediaan rokok. Ternyata rokok yang aku bawa dari bawah sudah mau habis. daripada nanti kehabisan di atas, jadi aku putuskan untuk membelinya dulu di bawah. Meskipun sebenarnya di atas juga pasti ada yang jual rokok. Segera aku menuju sebuah warung yang berada tidak jauh dari tempat kami mendirikan tenda. Aku menanyakan sebuah rokok yang ingin kubeli, sayangnya rokok tersebut sudah habis terjual. Alhasil aku harus membeli rokok alternatif lain. Ini aadalah pengalaman pertamaku membeli rokok di gunung. Dan betapa kagetnya aku waktu itu, karena harga yang ditawarkan untuk sebuah rokok yang aku beli ini berkali lipat dari harga biasa yang aku ketahui jika membelinya di warung-warung ataupun di minimarket. Tapi meskipun harganya cukup membuat kaget di awal, aku tetap saja membelinya. Satu bungkus rokok yang aku beli ini harganya adalah Rp. 45.000. Wajar lah ya, soalnya jika dipikir lagi, perjuangan untuk seorang pedagang agar bisa berjualan di gunung ini tidaklah mudah. Mereka harus membawa barang dagangan dari bawah menuju gunung. Bayangin aja dulu. Aku membeli rokok ini dengan hasil uang ptpt (patungan) dengan Agung. Kebetulan diantara kami berlima, yang merokok hanya kami berdua.

Tak ingin menunggu lebih lama lagi, setelah selelsai membeli rokok, kami pun mulai melangkahkan kaki menuju puncak. Jalanan bebatuan yang menanjak menjadi jalur yang aku dan kawanku lewati kali ini.Selain itu, cuaca dingin yang khas pun turut menemani perjalanan kami. Di jalan kami banyak berpapasan dengan pendaki lain. Ada yang sama menuju puncak dan tidak sedikit juga yang kembali turun dari puncak. Saat melewati jalur yang sempit, kadang kami juga harus bergantian dengan yang turun dari puncak untuk tetap bisa jalan. 

Setelah kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya kami pun sampai di puncak. Ketinggian Gunung Gede ini adalah 2.958 MDPL. Di puncak sudah banayak sekali pendaki lain yang sudah samapi lebih dulu. Sayang sekali, pemandangan dari puncak kali ini tidak seperti pas pertama kali ke sini beberapa tahun lalu. Kali ini kabut menyelimuti puncak Gunung Gede. Seperti biasa, aku menyempatkan untuk mengambil gambar terlebih dahulu. Kawanku juga bergantian untuk berfoto di tugu Puncak Gede. Dalam keadaan ramai seperti ini, susah untuk mendapatkan foto yang cukup bagus. Harus cepat juga kalo difoto. Kadang pas difoto ada orang lewat saking ramainya. Di puncak juga terdapat beberapa warung yang menjual makanan. Bahkan ada warung yang menjual gorengan juga di sini. Salut sih kepada para pedagang yang ada di gunung, perjuangan untuk mendapatkan rupiahnya itu sungguh bukan maen. 

kang foto abadi
Merasa cukup mendapatkan foto meskipun sebenarnya belum puas, aku dan kawanku mencari tempat untuk duduk dan berencana menyeduh kopi untuk menghangatkan tubuh. Karena air yang kami bawa dari atas sudah habis diminum saat di perjalanan menuju puncak, akhirnya kami membeli di sebuah warung. Sebuah air mineral ukuran 600ml satu buah dengan harga Rp. 15.000. Selanjutnya air dipanaskan dan dibuat menyeduh kopi. Wah emang bener enak ngopi di puncak seperti ini. Meskipun pemandangan diselimuti kabut, tapi bersyukur sudah bisa sampai di puncak. Setiap petualangan itu memang pasti tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan, jadi syukuri saja. 

Sembari menikmati secangkir kopi, aku melihat hasil foto yang aku ambil tadi. Hasilnya biasa-biasa saja tidak ada yang istimewa. Kebanyakan isinya hanya foto kawan-kawanku yang  bergatian aku foto bergantian. Sudah tidak perlu disuruh lagi, aku sudah pasti jadi tukang foto untuk mereka hmm.

Semakin siang, kabut yang menyelimuti puncak pun perlahan hilang dan matahari pun sudah mulai terik. Aku mengajak kawanku untuk segera turun kembali ke tenda. Sebelum itu, aku sempat meminta bantuan kepada orang lain untuk memotret kami di puncak sebagai bukti kenang-kenangan. Ada beberapa foto yang kan menjadi bukti kalo kami pernah ke sini. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada mas mas yang sudah bersedia memotret kami. Selanjutnya, kami pun segera pulang menuju tenda karena pasti Rege sudah menunggu untuk makan bersama di tenda.

***

Gunung Gede via Putri, 10-11 April 2021

Sebuah Cerita perjalanan mendaki gunung yang sudah hampir setahun berada di draft akhirnya sudah bisa di publikasikan. Sebagian Cerita perjalanan ini ditulis saat badan dan kaki merasakan dampak dari mendaki Gunung, sakit dan pegal.

Post a Comment

Post a Comment